Bahasa Terancam Punah: Fakta-fakta, Sebab, Gejala, dan Strategi Perawatannya

(oleh: Gufran Ali Ibrahim Universitas Khairun, Ternate)

1.      Pengantar
Sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua tak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi (Grimes, 2000:17). Sebab yang lainnya adalah, bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari pilihan penggunaan bahasa sebagian besar masyarakat tuturnya (Landweer, 1999:1). Terkait dengan kepunahan bahasa-bahasa di dunia, terutama di Indonesia, makalah ini akan membentangkan tiga hal penting: (1) fakta-fakta mengenai kepunahan bahasa, (2) sebab, gejala, dan kategori kepunahan, serta (3) strategi perawatannya agar bahasa-bahasa terselamatkan dari kepunahan.
2.      Fakta yang mencengangkan
Menurut catatan Grimes (2000), sebagaimana yang disebutnya dalam Ethnologue: Languages of the World (selanjutnya disebut Ethnologue), terdapat 6.809 bahasa di dunia. Dari jumlah itu, 330 bahasa memiliki penutur sebanyak satu juta orang atau lebih. Jumlah penutur yang besar ini berkontras secara mencolok dengan kira-kira 450 bahasa di dunia yang memiliki jumlah penutur yang sangat kecil, telah berusia tua dan condong bergerak menuju ke penunahan. Pada saat yang sama, mungkin mengejutkan orang bahwa rerata jumlah penutur bahasa-bahasa di dunia hanya berkisar 6.000 orang atau lebih, hanya separuhnya memiliki penutur 6.000 orang atau lebih penutur, dan hanya separuhnya lagi memiliki penutur kurang dari 6.000 orang.
Lebih mencengangkan lagi, ketergerusan jumlah penutur bahasa yang semakin mengecil ini-pada berbagai belahan dunia menjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Berdasarkan catatan tahun 1977, bahasa Eyak di Alaska kini tinggal memiliki 2 penutur usia lanjut. Bahasa Mandan memiliki 6 penutur, bahasa Osage 5, bahasa Abenaki-Penobscot 20, dan bahasa Iowa punya 5 penutur, bahasa Coeur d’Alene memiliki penutur kurang dari 20, bahasa Tuscarora kurang dari 30, bahasa Menomini kurang dari 50, dan bahasa Yokust kurang dari 10 penutur. bahasa Eskimo tinggal memiliki 2 penutur, dan bahasa Aimu mungkin telah punah. Bahasa Ubykh, salah satu bahasa Kaukasia yang memiliki begitu banyak konsonan, kurang-lebih 80,
mendekati kepunahan, dan mungkin tersisa satu penutur (Krauss, 1992 dalam Ibrahim, 2006:2-4).
Fakta mengenai kepunahan bahasa ini sebenarnya bukan isu baru. Telah berabad-abad kita ketahui bahwa bahasa Greek Koiné dan bahasa Latin Klasik telah “mati” sebagai bahasa yang dituturkan. Meski demikian, dalam satu abad terakhir ini pergerakan ke kepunahan yang dialami oleh bahasa-bahasa dengan jumlah penutur yang kecil dan dengan pendukungnya yang memiliki mobilitas sempit lebih cepat dari yang dibayangkan. Pergerakan ke arah kepunahan itu terutama terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Bahkan, kini di berbagai belahan benua, penuturnya tidak lebih dari 200 orang. Tercatat bahwa ada 516 bahasa yang didaftarkan dalam Ethnologue termasuk ke dalam bahasa yang mendekati kepunahan, karena hanya ada sedikit sekali penutur usia renta yang masih hidup. Dari 516 bahasa itu, 46 berada di Afrika, 170 di Amerika, 78 di Asia, 12 di Eropa, dan di 210 Pasifik.
3. Sebab-musabab, Gejala, dan Kategori Kepunahan
Lalu apa yang menyebabkan bahasa-bahasa di dunia terancam punah? Seperti telah dikatakan pada bagian pengantar, ada dua sebab utama kepunahan, yaitu karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak serta tidak lagi menggunakannya di rumah dan pilihan sebagian masyarakat tutur untuk tidak menggunakannya dalam ranah komunikasi sehari-hari.
Kedua sebab ini terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa (language maintenance) masyarakat tuturnya. Jika pilihan untuk tidak menggunakan dan kebiasaan orang tua untuk tidak mentransmisikan bahasa ibu kepada anak-anaknya lemah, maka pergerakan ke kepunahan akan lebih cepat lagi. Dalam satu pergantian generasi mungkin 25 tahun bahasanya akan punah. Bahkan, mungkin lebih cepat lagi. Sebaliknya, bahasa-bahasa yang penuturnya memiliki pemertahanan bahasa yang kuat, memiliki vitalitas hidup kuat pula.
Hipotesis-hipotesis sosiolinguistik terkait dengan kecepatan kepunahan bahasa antargenerasi penutur dapat diterangkan sebagai berikut. Jika satu bahasa hanya digunakan oleh penutur yang berusia 25 tahun ke atas dan usia di bawahnya tidak lagi menggunakannya, maka 75 tahun ke depan tiga generasi bahasa itu akan terancam punah.  Jika satu bahasa hanya digunakan secara aktif oleh penutur berusia 50 tahun ke atas dan usia di bawahnya tidak lagi menggunakannya, maka ada kemungkinan 50 tahun ke depan dua generasi bahasa itu akan punah. Jika satu bahasa secara aktif hanya digunakan oleh penutur yang berusia 75 tahun ke atas dan penutur berusia di bawahnya tidak lagi secara cakap menggunakannya, terutama dalam ranah keluarga, maka ada kemungkinan 25 tahun ke depan satu generasi bahasa itu akan (terancam) punah. Dengan rumusan lain, hipotesisnya demikian: Semakin muda usia penutur setiap bahasa tidak lagi cakap menggunakan bahasa ibu dalam pergaulan sehari-hari, maka semakin cepat bahasa tersebut mengalami kepunahan. Gerak ke arah kepunahan akan lebih cepat lagi, bila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan dan jumlah ranah penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari; atau semakin meluasnya ketiadaan penggunaan bahasa dalam sejumlah ranah, terutama ranah keluarga.
Di luar soal permertahanan bahasa, ada empat sebab terdalam dari kepunahan bahasa: (1) para penuturnya berpikir tentang dirinya yang inferior secara sosial, (2) terikat masa lalu, (3) tradisional, atau (4) secara ekonomi kehidupannya stagnan. Inilah yang disebut oleh sejumlah linguis, antara lain, Grimes (2000), Landweer (2008), Lewis (2005) sebagai proses ”penelantaran” bahasa.
Di atas dua sebab dasar pemertahanan bahasa dan empat sebab non-kebahasan itu, faktor-faktor lain yang lebih luas spektrumnya yang turut mendorong kecepatan kepunahan sebuah bahasa. Summer Insitute of Linguistics [selanjutnya disebut SIL] (2008) mencatat sedikitnya ada 12 (dua belas) faktor: (1) kecilnya jumlah penutur, (2) usia penutur, (3) digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak, (4) penggunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam, (5) perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, (6) urbanisasi kaum muda, (7) kebijakan pemerintah, (8) penggunaan bahasa dalam pendidikan, (9) intrusi dan eksploitasi ekonomi, (10) keberaksaraan, (11) kebersastraan, dan (12) kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula tekanan
bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa secara berdampingan.
Sebagai contoh sekali lagi saya sebut bahasa Ibu di Maluku Utara. Bahasa ini digunakan di dua desa (Gam Lamo, ’Kampung Besar’, dan Gam Ici, ’Kampung Kecil’) di Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Dua desa ini bertetangga dengan pengguna bahasa Waiyoli, Gamkonora, dan Sahu yang jarak tempuhnya tidak lebih dari 5 km. Selain menggunakan bahasa etniknya masing-masing, telah sejak lama masyarakat di sini juga menggunakan bahasa Ternate [bahasa Kesultanan Ternate] dan bahasa Melayu Ternate sebagai lingua-franca lintas-etnik. Dalam perjalanan selanjutnya, penutur bahasa Ibu di dua desa ini, semakin menguasai dan menggunakan bahasa Ternate dan bahasa Melayu Ternate dan semakin ’meninggalkan’ bahasa Ibu. Pilihan menggunakan kedua bahasa lingua-franca ini lambat-laun telah memunahkan bahasa Ibu sendiri. Situasi sosiolinguistik semacam ini terkait dengan dua hal: sikap bahasa dan orientasi ke dunia luar penuturnya. Atau dari sudut lain, ada tekanan bahasa dominan, seperti bahasa Ternate dan bahasa Melayu Ternate, terhadap bahasa Ibu; dan itu telah menjadikan penutur bahasa Ibu kini di tahun 2008 ini tinggal 5 orang, masing-masing Nenek Hajija, kakek Ismail Babaoro (80 tahun), Nifu Hamiru (70 tahun), Han Noho, dan Gani Saleh (masing-masing 45 tahun).
Gejala-gejala kepunahan bahasa pada masa depan adalah: (1) penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, (2) semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa ibu, (5) penutur generasi terakhir tak cakap lagi menggunakan bahasa ibu (penguasaan pasif, understanding without speaking), dan (6) contoh-contoh mengenai semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa, keterancaman bahasa Kreol dan bahasa sandi (Grimes, 2000).
Terkait dengan vitalitas atau daya hidup bahasa secara lintasgenerasi, para ahli membuat pentipologiannya. Dengan mengambil analogi spesies biologi, Krauss (1992) misalnya mengkategorikan daya hidup bahasa menjadi tiga kategori. Pertama, moribund, yaitu bahasa yang tidak lagi dipelajari oleh anak-anak sebagai bahasa ibu. Kedua, endangered, yaitu bahasa yang meskipun sekarang masih dipelajari atau diperoleh oleh anak-anak, tidak lagi digunakan di abad akan datang. Ketiga, safe, yaitu bahasa yang secara resmi didukung oleh pemerintah dan memiliki penutur yang sangat banyak.
Dalam hubungannya dengan tingkat keterancaman dari kepunahan, sebuah kolokium mengenai bahasa-bahasa yang punah di Jerman tahun 2000 (Grimes, 2000:8), merumuskan enam tingkat keterancaman. Pertama, bahasa-bahasa yang critically endangerad, artinya bahasa-bahasa yang dalam keadaan kritis, sekarat. Bahasabahasa ini hanya tinggal sedikit penuturnya dan semuanya berusia 70 tahun ke atas dan usia buyut. Kedua, severely endangered, artinya bahasa-bahasa yang hanya memiliki penutur berusia 40 tahun dan ke atas, usia kakek-nenek. Bahasa seperti dalam kondisi ’sakit parah’. Ketiga, endangered, artinya bahasa-bahasa yang penuturnya berusia 20 tahun ke atas, usia orang tua. Bahasa-bahasa seperti ini dalam kondisi terancam punah. Keempat, eroding, yaitu bahasa-bahasa yang penuturnya adalah beberapa anak dan yang lebih tua. Anak-anak lain tidak lagi menggunakannya.Bahasa-bahasa seperti ini dalam kondisi tergerus. Kelima, stable but threatened, yaitu bahasa yang digunakan oleh semua anak dan dewasa tetapi jumlahnya sangat sedikit; ini artinya stabil tetapi terancam. Keenam, safe, yaitu bahasa-bahasa yang tidak dalam keadaan ancaman kepunahan. Bahasa yang masih diperoleh dan dipelajari oleh semua anak dan usia dewasa dalam kelompok etniknya. Bahasa-bahasa ini dikategorikan sebagai bahasa yang ’bugar’, sehal wal afiah.
Dari pentipologian yang diberikan Krauss (1992) dan persepakatan kolokium Jerman mengenai tingkat keterancaman menunjukkan satu hal yang sama: jumlah dan kebiasaan penutur merupakan variabel sosiolinguistik penting yang menentukan vitalitas bahasa. Semakin banyak jumlah penutur dan semakin sering penutur menggunakan bahasanya dalam berbagai ranah, seperti ranah rumah, peristiwa budaya, dan peristiwa sosial, semakin kuat vitalitas bahasa itu. Dengan demikian, semakin jauh bahasa itu dari keterancaman kepunahan.
3.      Dari Peta Vitalitas ke Asesmen Status ”Kebugaran” Bahasa: Perawatan Siklik
Bukankah setiap makhluk hidup, termasuk manusia, ditakdirkan hidup, dan ditakdirkan pula untuk punah alias mati? Karena bahasa juga ’semacam spesies makhluk hidup’ yang ’dilahirkan’ oleh manusia dan manusia itu makhluk hidup yang akan mengalami kematian secara alamiah, maka bukankah bahasanya juga akan mati? Lantas mengapa kita repot-repot mengurusi bahasa yang terancam punah? Jawaban yang cukup singkat dan sangat beralasan diberikan oleh LivingTongues, Institute for Endangered Languages, sebuah lembaga yang peduli pada kepunahan dan penyelamatan bahasa-bahasa yang punah. Dengan motto ”Membawa Tuturan ke Masa Depan”, Lembaga ini mengatakan: ”…bahasa adalah sebuah gudang pengetahuan manusia yang sangat luas tentang dunia alamiah, tanan-tanaman, hewan-hewan, ekosistem, dan sediaan budaya. Setiap bahasa memuat keseluruhan sejarah umat manusia”. Kalau demikian, tidaklah berlebihan, jika dikatakan bahwa kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban manusia secara keseluruhan. Oleh karena begitu pentingnya bahasa bagi peradaban, sampai-sampai antropolog Leslie White, pernah bertanya secara retoris: Remove speech from culture and what would remain? Kepunahan bahasa sama dengan kepunahan peradaban!
Kalau begitu bagaimana cara kita agar bahasa-bahasa dapat diselamatkan dari kepunahan dan dengan demikian peradaban kita tak punah!? Selama ini para linguis atau lembaga-lembaga bahasa di dunia, terutama yang peduli pada penyelamatan bahasa dari kepunahan seperti LivingTongues dan SIL (memang) telah melakukan upaya-upaya yang sistematis mulai dari penelitian-pencatatan, preservasi, hingga revitalisasi-revivalisasi melalui pembangunan kelas dan sekolah bahasa sendiri di kampung sendiri untuk anak-anak dan orang dewasa pada komunitas yang bahasanya terancam punah. Kisah-kisah sukses program revitalisasi seperti yang ditunjukkan dalam keberhasilan perawatan bahasa Hawai di Hawai, bahasa Cornish di Inggris, bahasa Maori di Selandai Baru, bahasa Waorani di Ekuador, dan bahasa Nambikuara di Brazil. Program revitalisasi yang sukses menambah jumlah penutur seperti yang ditunjukkan dalam bahasa Waorani. Bahasa yang pada tahun 1956 berpenutur 150 ini, setelah penelitian linguistik, kelas-kelas keberaksaraan, pendidikan, pengobatan modern, sekarang penuturnya diperkirakan 900 orang.
Di Indonesia, menurut catatan Multamia MT Lauder (Kompas, 12 Agustus 2008), ada 169 bahasa yang terancam punah. Meskipun dengan angka keterancaman sebanyak itu, kita belum punya program dan tradisi preservasi yang kuat untuk menyelamatkannya dari kepunahan, kecuali baru pada tingkat dokumentasi melalui penelitian individu, perguruan tinggi, atau oleh Pusat Bahasa. Pernyataan ini tidak memasukkan usaha-usaha yang dilakukak oleh SIL untuk bahasabahasa di Papua. Secara pukul-rata, kita baru sampai pada pendataan mengenai sebaran dan jumlah bahasa yang terancam punah. Kita, setahu saya, belum mempunyai peta yang akurat mengenai vitalitas atau daya hidup bahasa-bahasa di Indonesia. Padahal, dengan peta vitalitas bahasa, kita akan punya gambaran yang terang mengenai dua hal penting: (1) jumlah dan sebaran mengenai bahasa-bahasa yang terancam punah dan (2) tingkat vitalitas bahasa-bahasa di Indonesia. Dengan kedua gambaran ini, kita akan dapat menyusun profil vitalitas bahasa-bahasa di Indonesia; dan dengan profil itu, kita akan menyusun program preservasi secara tepat sasaran dengan skala pementingan dan dapat dilakukan secara terukur.
Untuk itu, saya menyarankan suatu cara atau metode yang saya sebut survei pemetaan vitalitas bahasa-bahasa di Indonesia. Untuk melaksanakan survei ini, saya menyarankan, kita menggunakan indikator etnolinguistik mengenai vitalitas bahasa yang disarankan oleh Landweer (2008) dan mengkombinasikannya secara eklektif dengan metode asesmen kategori keterancaman yang disarankan oleh Lewis (2005). Ringkasnya, skema preservasi dimulai secara siklik dari survei pemetaan vitalitas, program-program revitalisasi, penilaian mengenai kerbermaknaan program preservasi, hingga ke penyusunan profil baru vitalitas bahasa untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan programprogram preservasi dengan bercermin pada keberhasilan dan kegagalan preservasi sebelumnya.
Skema penyelamatan bahasa-bahasa dari kepunahan ini merupakan tawaran yang perlu dikoreksi dan diperkuat dengan mempertimbangkan berbagai hal yang terkait dengan soalan etno-sosiolinguistik, pendanaan, kepentingan kebangsaan, dan kemampuan lembaga pengayom bahasa (baca: Pusat Bahasa) dan perguruan tinggi. 

Simpulan
Jumlah dan kecepatan pergerakan ke kepunahan bahasa-bahasa di dunia dan juga di Indonesia tidak saja merupakan bencana linguistik, tetapi juga telah menyampikan informasi sosio-ekonomi yang mengkhawatirkan
mengenai keterpencilan, ketakberdayaan, dan perjuangan melawan kemiskinan kaum minoritas melawan ketertinggalan dari kemajuan dan dominasi bahasa-bahasa dengan berpenutur banyak dan dinamis. Dalam konteks Indonesia, pembiaran atas kepunahan bahasabahasa berpenutur sedikit, sesungguhnya adalah pengingkaran atas kemajemukan yang sesungguhnya merupakan soko guru ke-Indonesiaan. Lembaga pengayom bahasa yang ditugasi pemeritah (baca: Pusat Bahasa) harus segera merancang program-program preservasi, sebelum bahasa-bahasa itu benar-benar punah.


 RUJUKAN
Anonim. 2008. “169 Bahasa Daerah Terancam Punah”. Kompas, 12 Agustus 2008.
Cahill, Michael. 2008. “Why care about endangered language?”. SIL International: http://www.sil.org/sociolx/ndg-lg-cahill.html
Craig, Colette. 1992. “A constitutional response to language endangerment: The case of Nicaragua. Dalam Language, Volume 68, Number 1.
Grimes, Barbara F. Ed. 1988. Ethnologue: languages of the world.
Dallas, Texas: Summer Institute of Linguistics, Inc.
Hale, Ken. 1992. “Language endangerment and the human value of linguistic diversity”. Dalam Language, Volume 68, Number 1.
Ibrahim, Gufran Ali. 2006. “Beberapa Bahasa di Maluku Utara akan Punah”. Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Internasional tentang Bahasa-bahasa yang Punah, di Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 22 Desember 2006.
Ibrahim, Gufran Ali. 2007. “Lima Abad Penelitian Bahasa di Maluku Utara”. Makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional Makalah yang disampaikan pada Kongres Internasional Bahasa Daerah yang diselenggarakan atas Kerjasama Pemerintah Provinsi Maluku, Universitas Pattimura, dan Pusat Bahasa Depdiknas, di Ambon, 5-8 Agustus 2007.
Jeane, La Verne Masayesva. 1992. “An institutional response to language endangerment: A proposal for a Native American Language Center. Dalam Language, Volume 68, Number 1.
Krauss, Michael. 1992. “The world’s languages in crisis”. Dalam Language, Volume 68, Number 1.
Landweer, M. Lynn. 2008. “Indicators of Ethnolinguistic Vitality”. SIL International: http://www.sil.org/sociolx/ndg-lg-indicators-html.
Lewis, Paul M. 2005. “Towards A Categorization of Endangerment of the World’s Languages. SIL Internasional: Masinambouw, E.K.M. 1976. Konvergensi Etnolinguitik di Halmahera
Tengah: Sebuah Analisa Pendahuluan. Disertasi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.
Watahomigie, Lucille J. dan Akira Y. Yamamoto.1992. “Local reactions to perceived language decline”. Dalam Language, Volume 68, Number 1.



Makalah ini disampaikan pada Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008.


Artikel Terkait:


2 komentar:

ningelfi mengatakan...

Terima kasih atas kunjungan Anda. Ini kunjungan balasan saya.

Hasanudin mengatakan...

Sama-sama. Saya ucapkan terima kasih atas kunjungan baliknya.
Saya suka dengan tulisan yang Anda buat.

Posting Komentar

Tambahkan Komentar Anda

Subscribe Via Email

catatan "Kang Hasan"

↑ Grab this Headline Animator

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

About Me

Foto Saya
Hasanudin
Ketidaksempurnaan adalah hakiki insan Tuhan. Menjadikan lebih sempurna adalah kewajiban Insan terhadap Tuhan, dengan iman dan takwa kepada-Nya. Sebagai seorang insan kita wajib menghargai ketidaksempurnaan sesama.
Lihat profil lengkapku

Followers

Sponsored by

Ekstra Link

Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net Add to Google Reader or Homepage Text Back Links Exchanges Blog Tutorial Wordpress Blogger Blogspot Cara Membuat Blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net
Back To Top