1.      Pengertian Pembelajaran berbicara
Apa yang dimaksud dengan istilah Pembelajaran? Pembelajaran adalah proses atau hal mempelajari. Kurikulum 1984, kita temukan istilah pengalaman belajar. Dalam konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sering disinggung aktivitas belajar. Dalam keterampilan proses kita temukan istilah kegiatan belajar dan di dalam Kurikulum 2003 istilah yang digunakan standar kompetensi atau kompetensi dasar. Semua istilah itu mengacu pada pengertian yang sama yaitu pengalaman belajar yang dilakukan dirasakan murid dalam menguasai suatu bahan pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran ialah pengalaman yang dialami murid dalam proses menguasai kompetensi dasar pembelajaran.
Di dalam KTSP dinyatakan bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pernyataan tersebut berimplikasi bahwa siapa pun yang mempelajari suatu bahasa pada hakikatnya sedang belajar berkomunikasi.
Thompson (dalam Depdiknas, 2003:1) menyatakan bahwa komunikasi merupakan fitur mendasar dari kehidupan sosial dan bahasa merupakan komponen utamanya. Pernyataan tersebut menyuratkan bahwa kegiatan berkomunikasi tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan berbahasa. Dalam kegiatan berkomunikasi dengan bahasa, sebagaimana diketahui meliputi komunikasi lisan dan tulis. Komunikasi lisan terdiri atas keterampilan menyimak/mendengarkan dan keterampilan berbicara, sedangkan komunikasi tulis terdiri dari keterampilan membaca dan menulis.
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan produktif karena dalam perwujudannya keterampilan berbicara menghasilkan berbagai gagasan yang dapat digunakan untuk kegiatan berbahasa (berkomunikasi), yakni dalam bentuk lisan dan keterampilan menulis sebagai keterampilan produktif dalam bentuk tulis. Dua keterampilan lainnya (menyimak dan membaca) merupakan keterampilan reseptif atau keterampilan yang tertuju pada pemahaman. Siswa membutuhkan keterampilan berbicara dalam interaksi sosialnya. Siswa akan dapat mengungkapkan pikiran dan perasaanya secara efektif jika ia terampil berbicara. Dalam kaitan kreativitas, keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan yang perlu mendapat perhatian karena gagasan-gagasan kreatif dapat dihasilkan melalui keterampilan tersebut.
Kemampuan berbicara siswa juga dipengaruhi oleh kemampuan komunikatif. Menurut Utari dan Nababan (1993) kemampuan komunikatif adalah pengetahuan mengenai bentuk-bentuk bahasa dan makna-makna bahasa tersebut, dan kemampuan untuk menggunakannya pada saat kapan dan kepada siapa. Pengertian ini dilengkapi oleh Ibrahim (2001) bahwa kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur dan menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-norma berbahasa dalam masyarakat yang sebenarnya. Kompetensi komunikatif juga berhubungan dengan kemampuan sosial dan menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Para siswa tentu sudah memiliki pengetahuan sebagai modal dasar dalam bertutur karena ia berada dalam suatu lingkungan sosial yang menuntutnya untuk paham kode-kode bahasa yang digunakan masyarakatnya.
Dalam kaitannya dengan keterampilan berbicara, berikut ada ilustrasi. Ketika kita mendengar kata ”berbicara”, pikiran kita tertuju pada kegiatan ”berpidato”. Padahal, berpidato hanya merupakan salah satu bagian dari keterampilan berbicara. Tampaknya, dalam menghadapi era globalisasi saat ini keterampilan berbicara perlu terus ditingkatkan sehingga pengguna bahasa mampu menerapkan keterampilan tersebut untuk berbagai bidang kehidupan, misalnya, berwawancara, berdiskusi, bermain peran, bernegosiasi, berpendapat, dan bertanya. Untuk itu, dalam dunia pembelajaran para guru bahasa dituntut untuk dapat melakukan ”terobosan” sehingga pembelajaran bahasa yang dilaksanakannya dapat memenuhi tuntutan zaman, terutama dalam hal pembelajaran berbicara.
2.      Karakteristik Pembelajaran Berbicara
Kegiatan berbicara dapat berlangsung jika setidak-tidaknya ada dua orang yang berinteraksi, atau seorang pembicara menghadapi seorang lawan bicara. Dengan kemajuan teknologi, kegiatan berbicara dapat berlangsung tanpa harus terjadi kegiatan tatap muka, misalnya pembicaraan melalui telepon. Bahkan melalui layar telepon seluler 3G, tanpa bertemu langsung dua orang yang sedang berbicara dapat saling melihat. Kegiatan berbicara yang bermakna juga dapat terjadi jika salah satu pembicara memerlukan informasi baru atau ingin menyampaikan informasi penting kepada orang lain.
Berikut disajikan sejumlah karakteristik yang harus ada dalam kegiatan pembelajaran berbicara antara lain: (a) harus ada lawan bicara, (b) penguasaan lafal, struktur, dan kosa kata, (c) ada tema/topik yang dibicarakan, (d) ada informasi yang ingin disampaikan atau sebaliknya ditanyakan, dan (e) memperhatikan situasi dan konteks.
3.      Kriteria Penilaian Pembelajaran Berbicara
Ada dua jenis penilaian yang digunakan dalam pembelajaran berbicara, yaitu penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung untuk menilai sikap siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Penilaian hasil dilakukan berdasarkan unjuk kerja yang dilakukan siswa ketika menyajikan kompetensi berbicara yang dituntut kurikulum atau mempresentasikan secara individual.
Dalam penilaian proses digunakan lembar penilaian sikap (afektif) yang terdiri dari aspek: (1) kedisiplinan; (2) minat; (3) kerja sama; (4) keaktifan; dan (5) tanggung jawab. Dalam penilaian hasil digunakan rubrik penilaian untuk mengetahui kompetensi siswa dalam berbicara, misalnya menanggapi pembacaan puisi. Ada beberapa aspek yang dinilai, yaitu (1) kelancaran menyampaikan pendapat/tanggapan; (2) kejelasan vokal; (3) ketepatan intonasi; (4) ketepatan pilihan kata (diksi); (5) struktur kalimat (tuturan); (6) kontak mata dengan pendengar; (7) ketepatan mengungkapkan gagasan disertai data tekstual.
Penilaian kompetensi berbicara yang dilakukan dengan unjuk kerja atau performance yang utama perlu diukur adalah yang berkaitan dengan penggunaan bahasa seperti penguasaan lafal, struktur, dan kekayaan kosakata. Selain itu, juga penguasaan masalah yang menjadi bahan pembicaraan, bagaimana siswa memahami topik yang dibicarakan dan mampu mengungkapkan gagasan di dalamnya, serta kemampuan memahami bahasa lawan bicara (Nurgiyantoro, 2001:276).
Penilaian kemampuan berbicara haruslah membiasakan peserta didik untuk menghasilkan bahasa dan mengemukakan gagasan melalui bahasa yang sedang dipelajarinya. Dengan kata lain, penilaian berbicara harus dilakukan dengan praktik berbicara. Jadi, bentuk penilaian pembelajaran berbicara seharusnya memungkinkan siswa untuk tidak saja mengucapkan kemampuan berbahasanya, melainkan juga mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaannya sehingga penilaian ini bersifat fungsional (Nurgiyantoro, 2001:278). Berikut ini contoh model penilaian berbicara:

1.      Pembicaraan berdasarkan gambar
a.       Pemberian pertanyaan
b.      Bercerita (menceritakan gambar)
2.      Wawancara
3.      Bercerita
4.      Berpidato
5.      Diskusi
6.      Bermain peran
Dalam menggunakan bentuk-bentuk penilaian di atas, pelaksanaannya tetap harus fokus pada aspek kognitif. Meskipun aspek psikomotor yang berupa gerakan mulut, ekspresi mata, dan gesture lain juga harus dinilai, 6 tingkatan aspek kognitif Bloom yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan berpikir tetap harus menjadi fokus utama karena berkaitan dengan kemampuan menuangkan gagasan (Ibid, 2001:291-292). Keenam tingkatan berpikir ( C1 – C6) dari yang paling rendah hingga paling tinggi (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesiskan, dan mengevaluasi) harus dinilai dengan menggunakan rubrik dan penyekoran yang tepat sehingga tidak ada siswa yang dirugikan karena kompetensi setiap siswa terukur dengan alat ukur yang akurat.
Berbicara sebenarnya merupakan kegiatan kompleks yang melibatkan beberapa faktor. Yaitu kesiapan belajar, kegiatan berpikir, kesiapan mempraktikkan, motivasi, dan bimbingan. Apabila salah satu faktor tidak dikuasai dengan baik, akan terjadi kelambatan pada penguasaan bahan pembicaraan dan mutu bicara akan menurun (Mackey dalam Hastuti, dkk., 1985:6). Semakin tinggi seseorang menguasai kelima unsur itu, semakin baik pula penampilan dan penguasan bicaranya.
Salah satu model yang digunakan dalam penilaian berbicara (khususnya dalam berpidato dan bercerita) adalah sebagai berikut; skala penilaian yang digunakan adalah 0-10 (Nurgiyanto, 1980:265). (a) keakuratan informasi, (b) hubungan antarinformasi, (c) ketepatan struktur dan kosakata, (d) kelancaran, (e) kewajaran, (f) gaya pengucapan. Untuk masing-masing butir penilaian tidak harus selalu sama bobotnya, bergantung pada apa yang menjadi fokus penilaian pada saat itu. Yang penting, jumlah semua bobot penilaian 10 atau 100 sehingga mempermudah mendapatkan nilai akhir, yaitu (jumlah nilai x bobot):10 atau 100. Misalnya:
Butir 1, keakuratan informasi berbobot 20,
Butir 2, hubungan antarinformasi berbobot 15,
Butir 3, ketepatan struktur berbobot 20,
Butir 4, kelancaran berbobot 15,
Butir 5, kewajaran urutan wacana berbobot 15,
Butir 6, gaya pengucapan berbobot 15.
Selain itu, alat penilaian dalam berbicara (khususnya wawancara) dapat berwujud penilaian yang terdiri atas komponen tekanan, tata bahasa, kosakata, kefasihan, dan pemahaman. Penilaian ini disusun dengan skala: 1 - 6. 1 berarti sangat kurang dan 6 berarti sangat baik. Berikut ini adalah deskripsi masingmasing komponen.
a)      Tekanan
(1)   ucapan sering tidak dapat dipahami;
(2)   sering terjadi kesalahan besar dan aksen kuat yang menyulitkan pemahaman, menghendaki untuk selalu diulang;
(3)   pengaruh ucapan asing (daerah) yang mengganggu dan menimbulkan salah ucap yang dapat menyebabkan kesalahpahaman;
(4)   pengaruh ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan yang tidak menyebabkan kesalahpahaman;
(5)   tidak ada salah ucapan yang mencolok, mendekati ucapan standar;
(6)   ucapan sudah standar.
b)      Tata bahasa
(1)   penggunaan bahasa hamper selalu tidak tepat;
(2)   ada kesalahan dalam penggunaan pola-pola secara tetap yang selalu mengganggu komunikasi;
(3)   sering terjadi dalam pola tertentu karena kurang cermat yang dapat mengganggu komunikasi;
(4)   kadang-kadang terjadi kesalahan dalam pengunaan pola tertentu, tetapi tidak mengganggu komunikasi;
(5)   sering terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola;
(6)   tidak lebih dari dua kesalahan selama berlangsungnya kegiatan berwawancara


c)      Kosakata
(1)   pengunaan kosakata tidak tepat dalam percakapan yang sederhana sekalipun;
(2)   penguasaan kosakata sangat terbatas pada keperluan dasar personal;
(3)   pemilihan kosakata sering tidak tepat dan keterbatasan penggunannya menghambat kelancaran komunikasi dalam sosial dan profesional;
(4)   penggunaan kosakata teknis tepat dalam pembicaraan tentang tertentu, tetapi penggunan kosakata umum secara berlebihan;
(5)   penggunaan kosakata teknis lebih luas dan cermat, kosakata umum tepat digunakan sesuai dengan situasi sosial;
(6)   penggunaan kosakata teknis dan umum luas dan tepat.
d)     Kelancaran
(1)   pembicaraan selalu berhenti dan terputus-putus;
(2)   pembicaraan sangat lambat dan tidak ajeg kecuali untuk kalimat pendek;
(3)   pembicaraan sering ragu, kalimat tidak lengka;
(4)   pembicaraan lancar dan luas tetapi sekali-sekali kurang;
(5)   pembicaraan dalam segala hal lancar.
e)      Pemahaman
(1)   memahami sedikit isi percakapan yang paling sederhana;
(2)   memahami dengan lambat percakapan sederhana, perlu penjelasan dan pengulangan;
(3)   memahami percakapan sederhana dengan baik, kadang-kadang masih perlu penjelasan ulang;
(4)   memahami percakapan normal dengan baik, kadang-kadang masih perlu penjelasan dan pengulangan;
(5)   memahami segala sesuatu dalam percakapan normal kecuali bersifat kolokial;
      (6) memahami segala sesuatu dalam percakapan normal.





DAFTAR ISI

Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ibrahim, Abdul Syukur. 2001. Pengantas Sosiolingustik, Sajian Bunga Rampai. Malang: Universitas Negeri Malang.
Nurgiantoro, Burhan, 2001, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Edisi III. Yogyakarta: BPFE.
Utari, Sri dan Subyakto, Nababan. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta.


Dalam berbicara ada faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) pembicara, dan (2) pendengar. Kedua faktor tersebut akan menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan berbicara. Di bawah ini kedua faktor tersebut akan dibahas satu persatu.
a)      Pembicara
Pembicara adalah salah satu faktor yang menimbulkan terjadinya kegiatan berbicara. Dan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pembicara untuk melakukan kegiatannya, yaitu: (1) pokok pembicaraan (2) metode, (3) bahasa, (4) tujuan, (5) sarana, dan (6) interaksi. Keenam hal itu akan dibicarakan lebih mendalam sebagai berikut.
1) Pokok pembicaraan
Isi atau pesan yang menjadi pokok pembicaraan hendaknya memperhatikan hal-hal berikut ini.
(a)    Pokok pembicaraan bermanfaat bagi pendengar baik berupa informasi maupun pengetahuan.
(b)   Pokok pembicaraan hendaknya serba sedikit sudah diketahui dan bahan untuk memperluas pembicaraan yang sudah diketahui itu lebih mudah diperoleh.
(c)    Pokok pembicaraan menarik untuk dibahas baik oleh pembicara maupun bagi pendengar. Pokok pembicaraan yang menarik biasanya pokok pembicaraan seperti berikut: merupakan masalah yang menyangkut kepentingan bersama; merupakan jalan keluar dari suatu persoalan yang tengah dihadapi; merupakan persoalan yang ramai dibicarakan dalam masyarakat atau persoalan yang jarang terjadi; mengandung konflik atau pertentangan pendapat.
(d)   Pokok pembicaraan hendaknya sesuai dengan daya tangkap pendengar; tidak melebihi daya intelektual pendengar atau sebaliknya, lebih mudah.
2) Bahasa
Bagi pembicara, bahasa merupakan suatu alat untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Oleh karena itu, pembicara mutlak harus menguasai faktor kebahasaan.
Di samping itu, pembicara juga harus menguasai faktor nonkebahasaan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas berikut ini.
a.       Faktor Kebahasaan
Faktor kebahasaan yang terkait dengan keterampilan berbicara antara lain sebagai berikut.
(1) Ketepatan pengucapan atau pelafalan bunyi
Pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih mengucapkan bunyi-bunyi bahasa. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Memang pola ucapan dan artikulasi yang kita gunakan tidak selalu sama, masing-masing kita mempunyai ciri tersendiri. Selain itu ucapan kita juga sering dipengaruhi oleh bahasa ibu. Akan tetapi, jika perbedaan itu terlalu mencolok sehingga menjadi suatu penyimpangan, maka keefekvifan komunikasi akan terganggu.
Sampai saat ini lafal bahasa Indonesia belum dibakukan, namun usaha ke arah itu sudah lama dikemukakan adalah bahwa ucapan atau lafal yang baku dalam bahasa Indonesia adalah ucapan yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau ciri-ciri lafal daerah. Di bawah ini disajikan pelafalan huruf, suku kata dan kata yang belum sesuai dengan pelafalan bunyi bahasa Indonesia.
(a)      Pelafalan /c/ dengan /se/
       WC dilafalkan /we –se/ seharusnya we-ce
       AC dilafalkan /a-se/ seharusnya /a-ce/
       TC dilafalkan /te-se/ seharusnya /te-ce/
(b)     Pelafalan /q/ dengan /kiu/
MTQ dilafalkan / em-te-kiu/ seharusnya /em-te-ki
       PQR dilafalkan /pe-kiu-er/ seharusnya /pe-ki-er/
(c)      Pelafalan  /e/ sebagai /e’/ taling
       E dengan dilafalkan dengan / dEngan /seharusnya / d ngan
       ke mana dilafalkan ke mana/ kE mana /seharusnya /k mana/
       berapa dilafalkan berapa /bErapa / seharusnya / b rapa /
       esa dilafalkan esa / Esa / seharusnya / sa /
       peka dilafalkan / pe – ka / seharusnya peka
       lengah dilafalkan / l nah / seharusnya lengah /lEngah/
(d)     Pelafalan diftong /au/ dengan /o/
       kalau dilafalkan / kalo / seharusnya / kalaw/
       saudara dilafalkan / sodara / seharusnya / sawdara /
(e)      Pelafalan diftong /ai / sebagai /e /
       Pakai dilafalkan / pake/ seharusnya / pakay /
       balai dilafalkan / bale / seharusnya / balay /
(f)      Pelafalan / k / dengan bunyi tahan glotal (hamzah)
       pendidikan dialafalkan / pendidi an / seharusnya /pendidikan/
       kemasukan dilafalkan / kemasu an / seharusnya / kemasukan /
       Tahun dilafalkan / taun / seharusnya / tahun /
       Lihat dilafalkan / liat / seharusnya / lihat /
       Pahit dilafalkan / pait / seharusnya / pahit /
(2) Penempatan Tekanan, Nada, Jeda, Intonasi, dan Ritme
Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme yang sesuai akan merupakan daya tarik tersendiri dalam benrbicara; bahkan merupakan faktor penentu dalam keefektivan berbicara. Suatu topik pembicaraan mungkin akan kurang menarik, namun dengan tekanan, nada, jangka dan intonasi yang sesuai akan mengakibatkan pembicaraan itu menjadi menarik. Sebaliknya, apabila penyampaiannya datar saja, dapat menimbulkan kejemuan bagi pendengar dan keefektivan berbicara akan berkurang.
Kekurangtepatan dalam penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi, dan ritme dapat menimbulkan perhatian pendengar beralih kepada cara berbicara pembicara, sehingga topik atau pokok pembicaraan yang disampaikan kurang diperhatikan. Dengan demikian keefektivan berbicara menjadi terganggu.
(3) Pemilihan kata dan ungkapan yang baik, konkret, dan bervariasi
Kata dan ungkapan yang kita gunakan dalam berbicara hendaknya baik, konkret, dan bervariasi. Pemilihan kata dan ungkapan yang baik, maksudnya adalah pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan keadaan para pendengarnya. Misalnya, jika yang menjadi pendengarnya para petani, maka kata-kata yang dipilih adalah kata-kata atau ungkapan yang mudah dipahami oleh para petani.
Pemilihan kata dan ungkapan harus konkret, maksudnya pemilihan kata atau ungkapan harus jelas, mudah dipahami para pendengar. Kata-kata yang jelas biasanya kata-kata yang sudah dikenal oleh pendengar yaitu kata-kata popular. Pemilihan kata atau ungkapan yang abstrak akan menimbulkan kekurangjelasan pembicaraan.
Pemilihan kata dan ungkapan yang bervariasi, maksudnya pemilhan kata atau ungkapan dengan bentuk atau kata lain lebih kurang maknanya sama dengan maksud agar pembicaraan tidak menjemukan pendengar.
(4) Ketepatan Susunan Penuturan
Susunan penuturan berhubungan dengan penataan pembicaraan atau uraian tentang sesuatu. Hal ini menyangkut penggunaan kalimat. Pembicaraan yang menggunakan kalimat efektif akan lebih memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraan.
b. Faktor Nonkebahasaan
Faktor-faktor nonkebahasaan mencakup (1) sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku, (2) pandangan yang diarahkan pada lawan bicara, (3) kesediaan menghargai pendapat orang lain, (4) kesediaan mengoreksi diri sendiri, (5) keberanian mengungkapkan dan mempertahankan pendapat, (6) gerak-gerik dan mimik yang tepat, (7) kenyaringan suara, (8) kelancaran, (9) penalaran dan relevansi, dan (10) penguasaan topik. Faktor-faktor tersebut dibahas secara lebih mendalam berikut ini.
a) Sikap yang Wajar, Tenang, dan Tidak Kaku
Dalam berbicara, kita harus bersikap wajar, tenang, dan tidak kaku. Bersikap wajar, berarti berbuat biasa sebagaimana adanya tidak mengada-ada. Sikap yang yang tenang adalah sikap dengan perasaan hati yang tidak gelisah, tidak gugup, dan tidak tergesa-gesa. Sikap tenang dapat menjadikan jalan pikiran dan pembicaraan menjadi lebih lancar. Dalam berbicara tidak boleh bersikap kaku, tetapi harus bersikap luwes dan fleksibel.
b) Pandangan Diarahkan kepada Lawan Bicara
Pada waktu berbicara pandangan kita harus diarahkan lawan bicara, baik dalam pembicaraan perseorangan maupun kelompok. Pandangan pembicara yang tidak diarahkan kepada lawan bicara akan mengurangi keefektivan berbicara, di samping itu, juga kurang etis.
Banyak pembicara yang tidak mengarahkan pandangannya kepada lawan bicaranya, tetapi melihat ke bawah dan ke atas. Hal ini mengakibatkan perhatian pendengar menjadi berkurang.
c) Kesediaan Menghargai Pendapat Orang Lain
Menghargai pendapat orang lain berarti menghormati atau mengindahkan pikiran orang lain, baik pendapat itu benar maupun salah. Jika pendapat itu benar maka pendapat itulah yang harus kita perhatikan dan jka pendapat itu salah pendapat itu pun harus kita hargai karena memang itulah pengetahuan dan pemahamannya.
d) Kesediaan Mengoreksi Diri Sendiri
Mengoreksi diri sendiri berarti memperbaiki kesalahan diri sendiri. Kesediaan memperbaiki diri sendiri adalah sikap terpuji. Sikap seperti ini sangat diperlukan dalam kegiatan berbicara agar diperoleh kebenaran atau kesepakatan. Sikap ini merupakan dasar bagi pembinaan jiwa yang demokratis.
e) Keberanian Mengemukakan dan Mempertahankan Pendapat
Dalam kegiatan berbicara terjadi proses lahirnya buah pikiran atau pendapat secara lisan. Untuk dapat mengungkapkan pendapat tentang sesuatu diperlukan keberanian. Seseorang mengemukakan pendapat di samping memiliki ide atau gagasan, juga harus memiliki keberanian untuk mengemukakannya. Ada orang yang mempunyai banyak ide namun ia tidak dapat mengungkapkannya karena ia tidak memiliki keberanian. Atau, sebaliknya ada orang yang berani mengungkapkan pendapat namun ia tidak atau kurang idenya sehingga apa yang ia ungkapkan terkesan asal bunyi.
f) Gerak – gerik dan Mimik yang Tepat
Salah satu kelebihan dalam kegiatan bericara dibandingkan dengan kegiatan berbahasa yang lainnya adalah adanya gerak-gerik dan mimik yang dapat memperjelas atau menghidupkan pembicaraan. Gerak-gerik dan mimik yang tepat akan menunjang keefektivan berbicara. Akan tetapi gerak-gerik yang berlebihan akan mengganggu keefektivan berbicara.
g) Kenyaringan Suara
Kenyaringan suara perlu diperhatikan oleh pembicara untuk menunjang keefktivan berbicara. Tingkat kenyaringan suara hendaknya disesuaikan dengan situasi, tempat, jumlah pendengar, dan akustik yang ada. Jangan sampai suara terlalu nyaring atau berteriak-teriak di tempat atau akustik yang terlalu sempit; atau sebaliknya, suara terlalu lemah pada ruangan yang luas, sehingga tidak dapat ditangkap oleh semua pendengar.
h) Kelancaran
Kelancaran seseorang dalam berbicara akan memudahkan pendengar menagkap isi pembicaraannya. Pembicaraan yang terputus-putus atau bahkan diselingi dengan bunyi-bunyi tertentu, misalnya, e…, em…, apa itu.., dapat mengganggu penangkapan isi pembicaraan bagi pendengar. Di samping itu, juga jangan berbicara terlalu cepat sehingga menyulitkan pendengar sukar menangkap isi atau pokok pembicaraan.
i) Penalaran dan Relevansi
Dalam berbicara, seorang pembicara hendaknya memperhatikan unsur penalaran yaitu cara berpikir yang logis untuk sampai kepada kesimpulan. Hal itu menunjukkan bahwa dalam pembicaraan seorang pembicara terdapat urutan pokok-pokok pikiran logis sehingga jelas arti atau makna pembicaraannya. Relevansi berarti adanya hubungan atau kaitan antara pokok pembicaraan dengan urainnya.
j) Penguasaan Topik
Pengauasaan topik pembicaraan berarti pemahaman suatu pokok pembicaraan. Dengan pemahaman tersebut seorang pembicara memiliki kesanggupan untuk mengemukakan topik itu kepada para pendengar. Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan berbicara di depan umum seharusnya seorang pembicara harus menguasai topik terlebih dahulu. Sebab, dengan penguasaan topik akan membangkitkan keberanian dan menunjang kelancaran berbicara.
5)      Sarana Berbicara
Sarana dalam kegiatan berbicara mencakup waktu, tempat, suasana, dan media atau alat peraga. Pokok pembicaraan yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan. Berbicara terlalu lama atau melebihi waktu yang di sediakan dapat menimbulkan rasa jenuh para pendengar.
Tempat berbicara sangat menentukan keberhasilan pembicaraan. Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor lokasi, jumlah pendengar, posisi pembicara dan pendengar, cahaya, udara, dan pengeras suara. Berbicara pada suasana tertentu pun akan mempengaruhi keberhasilan pembicaraan. Pembicaraan yang berlangsung pada pagi hari tentu akan lebih berhasil dibandingkan dengan pembicaraan pada siang, sore, dan malam hari. Media atau alat peraga akan membantu kejelasan dan kemenarikan uraian. Karena itu, jika memungkinkan, dalam berbicara perlu diusahakan alat bantu seperti film, gambar, dan alat peraga lainnya.
6)      Interaksi
Kegiatan berbicara berlangsung menunjukkan adanya hubungan interaksi antara pembicara dan pendengar. Interaksi dapat berlangsung searah, dua arah, dan bahkan multi arah.
Kegiatan berbicara yang berlangsung satu arah, misalnya laporan pandangan mata pertandingan sepak bola, tinju, pembacaan berita. Kegiatan berbicara yang berlangsung dua arah, misalnya pembicaraan dalam bentuk dialog atau wawancara. Sedangkan kegiatan berbicara yang berlangsung multi arah biasanya terjadi pada acara diskusi, diskusi kelompok, rapat, seminar, dan sebagainya.
b)      Pendengar
Suatu kegiatan berbicara akan berlangsung dengan baik apabila dilakukan di hadapan para pendengar yang baik. Karena itu, pendengar harus mengetahui persyaratan yang dituntut untuk menjadi pendengar yang baik. Pendengar yang baik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut ini.
a)      memiliki kondisi fisik dan mental yang baik sehingga memungkinkan dapat melakukan kegiatan mendengarkan; memusatkan perhatian dan pikiran kepada pembicaraan;
b)      memiliki tujuan tertentu dalam mendengarkan yang dapat mengarahkan dan mendorong kegiatan mendengarkan;
c)      mengusahakan agar meminati isi pembicaraan yang didengarkan;
d)     memiliki kemampuan linguistik dan nonlinguistik yang dapat meningkatkan keberhasilan mendengarkan;
memiliki pengalaman dan pengetahuan luas yang dapat mempermudah pengertian dan pemahaman isi pembicaraan.

Bentuk-Bentuk Drama
1.       Berdasarkan bentuk sastra cakapannya, drama dibedakan menjadi dua
  1. Drama puisi, yaitu drama yang sebagian besar cakapannya disusun dalam bentuk puisi atau menggunakan unsur-unsur puisi.
  2. Drama prosa, yaitu drama yang cakapannya disusun dalam bentuk prosa.
2.       Berdasarkan sajian isinya
  1. Tragedi (drama duka), yaitu drama yang menampilkan tokoh yang sedih atau muram, yang terlibat dalam situasi gawat karena sesuatu yang tidak menguntungkan. Keadaan tersebut mengantarkan tokoh pada keputusasaan dan kehancuran. Dapat juga berarti drama serius yang melukiskan tikaian di antara tokoh utama dan kekuatan yang luar biasa, yang berakhir dengan malapetaka atau kesedihan.
  2. Komedi (drama ria), yaitu drama ringan yang bersifat menghibur, walaupun selorohan di dalamnya dapat bersifat menyindir, dan yang berakhir dengan bahagia.
  3. Tragikomedi (drama dukaria), yaitu drama yang sebenarnya menggunakan alur dukacita tetapi berakhir dengan kebahagiaan.
3.       Berdasarkan kuantitas cakapannya
  1. Pantomim, yaitu drama tanpa kata-kata
  2. Minikata, yaitu drama yang menggunakan sedikit sekali kata-kata.
  3. Doalog monolog, yaitu drama yang menggunakan banyak kata-kata.
4.       Berdasarkan besarnya pengaruh unsur seni lainnya
  1. Opera/operet, yaitu drama yang menonjolkan seni suara atau musik.
  2. Sendratari, yaitu drama yang menonjolkan seni eksposisi.
  3. Tablo, yaitu drama yang menonjolkan seni eksposisi.
5.       Bentuk-bentuk lain
  1. Drama absurd, yaitu drama yang sengaja mengabaikan atau melanggar konversi alur, penokohan, tematik.
  2. Drama baca, naska drama yang hanya cocok untuk dibaca, bukan dipentaskan.
  3. Drama borjuis, drama yang bertema tentang kehidupan kam bangsawan (muncul abad ke-18).
  4. Drama domestik, drama yang menceritakan kehidupan rakyat biasa.
  5. Drama duka, yaitu drama yang khusus menggambarkan kejathan atau keruntuhan tokoh utama
  6. Drama liturgis, yaitu drama yang pementasannya digabungkan dengan upacara kebaktian gereja (di Abad Pertengahan).
  7. Drama satu babak, yaitu lakon yang terdiri dari satu babak, berpusat pada satu tema dengan sejumlah kecil pemeran gaya, latar, serta pengaluran yang ringkas.
  8. Drama rakyat, yaitu drama yang timbul dan berkembang sesuai dengan festival rakyat yang ada (terutama di pedesaan).

Perbedaan Drama Dan Teks Sastra Lainnya
1.       Apa yang membedakan teks drama dengan teks cerita rekaan? Anda tentu saja masih ingat bahwa dala novel Belenggu karya Armijn Pane, pengarangnya menceritakan kisahannya dengan melibatkan tokoh-tokoh Tono, Tini, Yah lewat kombinasi antara dialog dan narasi. Sementara itu, dalam teks drama yang lebih mendominasi adalah dialog. Narasi hanya terbatas berupa petunjuk pementasan yang disebut sebagai teks sampingan. Lewat petunjuk pementasan (yang kebanyakan dicetak miring) itulah pengaranag naskah drama memberi arahan penafsiran agar tidak terlalu melenceng ari apa yang sebenarnya dikehendaki.
2.  Ciri khas apa yang terdapat dalam drama? Ada gerak seperti mengacungkan tangan, membentak, dan ketakutan. Dengan demikian, penulis lakon membeberkan kisahannya tak cukup jika hanya dibaca. Dibutuhkan gerak. Itulah yang disebut action. Pementasan di panggung. Penulis lakon membayangkan action para aktornya dalam bentuk dialog. Dan dialoglah bagian paling penting dalam drama. Lewat dialoglah kita bisa melacak emosi, pemikiran, karakterisasi, yang kesemuanya itu terhidang di panggung lewat action alias gerak. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila seorang pakar drama kenamaan Moulton menyebut drama sebagai ’life presented in action’, alias drama adalah hidup yang ditampilkan dalam gerak. Dengan demikian, secara lebih ringkas drama adala salah satu bagian dari genre sastra yang menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog, yang dirancang untuk pementasan di panggung (Sudjiman, 1990).


Unsur-Unsur Drama
1.   Dalam drama tradisional (khususnya Aristoteles), lakon haruslah bergerak maju dari suatu beginning (permulaan), melalui middle (pertengahan), dan menuju pada ending (akhir). Dalam teks drama disebut sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi.
Eksposisi, adala bagian awal yang memberikan informasi kepada penonton yang diperlukan tentang peristiwa sebelumnya atau memperkenalkan siapa saja tokoh-tokohnya yang akan dikembangkan dalam bagian utama dari lakon, dan memberikan suatu indikasi mengenai resolusi.
Komplikasi, berisi tentang konflik-konflik dan pengembangannya. Gangguan-gangguan, halangan-halangan dalam mencapai tujuan, atau kekeliruan yang dialami tokoh utamanya. Alam komplikasi inilah dapat diketahui bagaimana watak tokoh utama (yang menyangkut protagonis dan antagonisnya).
Resolusi, adalah bagian klimaks (turning point) dari drama. Resolusi haruslah berlangsung secara logis dan memiliki kaitan yang wajar dengan apa-apa yang terjadi sebelumnya. Akhir dari drama bisa happy-en atau unhappy-end.
2.       Karakter merupakan sumber konflik dan percakapan antartokoh. Dalam sebuah drama harus ada tokoh yang kontra dengan tokoh lain. Jika dalam drama karakter tokohnya sama maka tidak akan terjadi lakuan. Drama baru akan muncul kalau ada karakter yang saling berbenturan.
3.       Dialog merupakan salah satu unsur vital. Oleh karena itu, ada dua syarat pokok yang tidak boleh diabaikan, yaitu (1) dialog harus wajar, emnarik, mencerminkan pikiran dan perasaan tokoh yang ikut berperan, (2) dialog harus jelas, terang, menuju sasaran, alamiah, dan tidak dibuat-buat.

Unsur-Unsur Pementasan
1.   Dalam pentas drama sekurang-kurangnya ada 6 unsur yang perlu dikenal, yaitu: (1) naskah drama, (2) sutradara, (3) pemeran, (4) panggung, (5) perlengkapan panggung: cahaya, rias, bunyi, pakaian, dan (6) penonton.
2.       Naskah drama. Adalah bahan pokok pementasan. Secara garis besar naskah drama dapat berbentuk tragedi (tentang kesedihan dan kemalangan), dan komedi (tentang lelucon dan tingka laku konyol), serta disajikan secara realis (mendekati kenyataan yang sebenarnya dalam pementasan, baik dalam bahasa, pakaian, dan tata panggungnya, serta secara simbolik (dalam pementasannnya tidak perlu mirip apa yang sebenarnya terjadi dalam realita, biasanya dibuat puitis, dibumdui musik-koor-tarian, dan panggung kosong tanpa hiasan yang melukiskan suatu realitas, misalnya drama karya Putu Wijaya. Naskah yang telah dipilih harus dicerna atau diolah, bahkan mungkin diubah, ditambah atau dikurangi disinkronkan dengan tujuan pementasan tafsiran sutradara, situasi pentas, kerabat kerja, peralatan, dan penonton yang dibayangkannya.
3.       Sutradara. Setelah naskah, faktor sutradara memegang peranan yang penting. Sutradara inilah yang bertugas mengkoordinasikan lalu lintas pementasan agar pementasannya berhasil. Ia bertugas membuat/mencari naskah drama, mencari pemeran, kerabat kerja, penyandang dana (produsen), dan dapat mensikapi calon penonton.
4.   Pemeran. Pemeran inilah yang harus menafsirkan perwatakan tokoh yang diperankannya. Memang sutradaralah yang menentukannya, tetapi tanpa kepiawaian dalam mewujudkan pemeranannya, konsep peran yang telah digariskan sutradara berdasarkan naskah, hasilnya akan sia-sia belaka.
5.       Panggung. Secara garis besar variasi panggung dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, panggung yang dipergunakan sebagai pertunjukan sepenuhnya, sehingga semua penonton dapat mengamati pementasan secara keseluruhan dari luar panggung. Kedua, panggung berbentuk arena, sehingga memungkinkan pemain berada di sekitar penonton.
6.       Cahaya. Cahaya (lighting) diperlukan untuk memperjelas penglihatan penonton terhadap mimim pemeran, sehingga tercapai atau dapa mendukung penciptaan suasana sedih, murung, atau gembira, dan juga dapat mendukung keratistikan set yang dibangun di panggung.
7.       Bunyi (sound effect). Bunyi ini memegang peran penting. Bunyi dapat diusahakan secara langsung (orkestra, band, gamelan, dsb), tetapi juga dapat lewat perekaman yang jauh hari sudah disiapkan oleh awak pentas yang bertanggung jawab mengurusnya.
8.   Pakaian. Sering disebut kostum (costume), adalah pakaian yang dikenakan para pemain untuk membantu pemeran dalam menampilkan perwatakan tokoh yang diperankannya. Dengan melihat kostum yang dikenakannya para penonton secara langsung dapat menerka profesi tokoh yang ditampilkan di panggung (dokter, perawat, tentara, petani, dsb), kedudukannya (rakyat jelata, punggawa, atau raja), dan sifat sang tokoh trendi, ceroboh, atau cermat).
9.       Rias. Berkat rias yang baik, seorang gadis berumur 18 tahun dapat berubah wajah seakan-akan menjadi seorang nenek-nenek. Dapat juga wajah tampan dapat dipermak menjadi tokoh yang tampak kejam dan jelek. Semua itu diusahakan untuk lebih membantu para pemeran untuk membawakan perwatakan tokoh sesuai dengan yang diinginkan naskah dan tafsiran sutradara.

10. Penonton. Dalam setiap pementasan faktor penonton perlu dipikirkan juga. Jika drama yang dipentaskan untuk para siswa sekolah sendiri, faktor mpenonton tidak begitu merisaukan. Apabila terjadi kekeliruan, mereka akan memaafkan, memaklumi, dan jika pun mengkritik nadanya akan lebih bersahabat. Akan tetapi, dalam pementasan untuk umum, hal seperti tersebut di atas tidak akan terjadi. Oleh karena itu, jauh sebelum pementasan sutradara harus mengadakan survei perihal calon penonton. Jika penontonnya ”ganas” awak pentas harus diberi tahu, agar lebih siap, dan tidak mengecewakan para penonton.

Subscribe Via Email

catatan "Kang Hasan"

↑ Grab this Headline Animator

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

About Me

Foto Saya
Hasanudin
Ketidaksempurnaan adalah hakiki insan Tuhan. Menjadikan lebih sempurna adalah kewajiban Insan terhadap Tuhan, dengan iman dan takwa kepada-Nya. Sebagai seorang insan kita wajib menghargai ketidaksempurnaan sesama.
Lihat profil lengkapku

Followers

Sponsored by

Ekstra Link

Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net Add to Google Reader or Homepage Text Back Links Exchanges Blog Tutorial Wordpress Blogger Blogspot Cara Membuat Blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net
Back To Top