Pacaran?
Sebenarnya menurut anda "pacaran" itu apa sih? Ada banyak konsep tentang "pacaran" di benak kita. Dalam forum diskusi pun hal ini masih menjadi perdebatan. "Pacaran" ada yang diartikan sebagai hubungan yang dijalani ketika seorang pria dan seorang wanita saling menyukai satu sama lain dan ingin menjajaki kemungkinan untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius lagi, atau sebagai status yang me"legal"kan mereka untuk merasa bebas saat terlihat selalu berdua dan saling mengungkapkan ekspresi sayang, atau hubungan yang dijalani sebagai kesempatan untuk mengenal lebih dalam seseorang yang akan menjadi suami atau istri mereka di kemudian hari.
Istilah "pacaran" sendiri memang hanya sekedar istilah, tapi yang penting adalah apa motivasi dari dan apa yang dilakukan dalam fase hubungan itu.
Kalau mau jujur, pernah nggak anda merasa lelah menjalani "pacaran" yang putus sambung, baik dengan orang yang sama atau dengan beberapa orang yang berbeda? Atau mungkin bosan menjalani "pacaran" yang hanya coba-coba, memulai hubungan spesial dengan harapan-harapan indah tentang masa depan dengan si dia, tapi ternyata ditengah jalan harus putus karena ketidakcocokan, atau karena konflik yang berkepanjangan, atau karena ternyata si dia baru ketahuan "belang"nya setelah "pacaran". Lalu apa yang anda perbuat selanjutnya?
Ijinkan saya menceritakan satu kisah, dan dari kisah ini mungkin anda mendapat "modal awal" untuk mendefinisikan kembali arti dari "pacaran" yang ingin anda jalani.
Seorang pria dan wanita berkenalan, memulai semuanya dari hubungan  pertemanan biasa, bersama-sama dengan orang-orang lainnya. Mereka terlibat dalam suatu komunitas yang sehat, yang memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi dan saling mengenal sudut pandang dan karakter masing-masing secara umum dalam kondisi yang wajar. Kemudian salah satunya mungkin menyadari bahwa dia mulai menyukai yang lain... tapi dia tidak terburu-buru melakukan pendekatan secara eksklusif, dia hanya mulai bercakap-cakap lebih banyak untuk mengenal si dia lebih lagi, tapi masih dalam batas pertemanan atau persahabatan yang wajar. Tidak lupa, dia juga mulai melibatkan Tuhan sejak awal. Waktu terus berjalan, dan setelah mereka terus berinteraksi (baik secara berdua maupun dengan lingkungan pergaulan masing-masing), mereka menemukan bahwa ternyata mereka saling melengkapi (dan saling menyukai tentunya) dan mereka akhirnya memutuskan untuk "pacaran", setelah mereka saling mengetahui prinsip hidup masing-masing, karakter, dan hal-hal esensi lain yang dibutuhkan untuk mempertimbangkan apakah seseorang ini akan menjadi pasangan yang tepat yang ingin mereka nikahi kelak. Tentunya dalam kenyataan yang terjadi tidak sesederhana itu, karena memang kisah setiap orang berbeda-beda. Namun dengan konsep "pacaran" seperti itu, setidaknya kemungkinan untuk jadian-bubar atau putus-sambung bisa lebih diminimalisir, karena tujuannya bukan coba-coba, tapi masa "pacaran" dipandang sebagai masa untuk mengenal lebih dalam calon suami atau calon istri. Karena masa perkenalan dan juga pertimbangan untuk berkomitmen serius itu dilakukan sebelum "pacaran", maka dengan begitu keputusan yang diambil pun serius dan sudah dipertimbangkan cukup matang.
Berbeda dengan konsep asal suka sama suka dan kenal hanya "kulit luar"nya saja lalu cepat-cepat memutuskan untuk "pacaran". Konsep yang terakhir inilah yang sering digembar-gemborkan oleh media, yang akhirnya juga membuat banyak dari kita terpengaruh. Kalau kita melihat ada seorang pria dan wanita yang sedang "dekat", kita langsung mengajukan pertanyaan menggoda, "Kapan nih jadiannya?" atau "Udah... jadian aja... tunggu apalagi sih?" Sehingga terkesan bahwa "pacaran" itu adalah sesuatu yang remeh, yang bisa diputuskan begitu saja kalau ternyata tidak sesuai dengan keinginan atau harapan sebelumnya. Bahkan parahnya, pernikahan sekarang ini juga banyak dipandang sama seperti "pacaran", terbukti dengan maraknya kasus perceraian di media... Inikah jenis relationship yang sebenarnya kita inginkan? Dalam hubungan khusus antara seorang pria dan wanita, tentunya ada perasaan yang terlibat, tepatnya hati kita ikut terlibat. Jika sebuah hubungan yang sudah dijalin itu diputuskan, pasti ada sebagian hati kita yang terluka. Adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjaga hati kita, karena hati kita memotivasi setiap  tindakan yang kita lakukan. Itulah sebabnya dikatakan dalam Amsal 4:23: "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." Hanya satu yang perlu diingat, bahwa ada konsekuensi dalam setiap pilihan yang kita buat. Dalam sebuah relationship, keputusan yang diambil akan mempengaruhi bukan saja diri anda sendiri, tapi juga orang lain yang terlibat dalam hubungan tersebut. Karena itu, sangatlah penting untuk bersikap bijaksana dalam hubungan yang menyangkut hati ini.

Adakah pacar yang sempurna?
Ditanya demikian oleh seorang temanku, aku cuman nyengir aja bukan karena gak bisa jawab tapi pertanyaan itu sudah ke 9 kali dia tanyakan kepadaku selama beberapa hari berturut-turut. Jika aku  jawab, maka aku akan menjawab ada pacar yang sempurna. Tapi aku tidak menjamin bahwa pacar yang sempurna itu bisa menjadi suami / isteri yang sempurna. Kenapa demikian? Kalo menurut ustad Fauzil Adhim, seorang pacar hanya bisa menjadi pacar yang sempurna, karena dia hanya bisa berperan sebagai pacar saja. Saat akhirnya menikah, maka belum tentu dia akan bisa menjadi suami/istri yang sempurna karena memang tidak pernah di latih untuk jadi suami/istri. Dan akhirnya adalah masa penyesuaian kembali pada kedua pihak. Jadi…..kenapa mesti ragu untuk menikah saat ini juga?
Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa. Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau  lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya."Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.

Pacaran dalam Islam
Gimana sich sebenernya pacaran itu, enak ngga' ya? Bahaya ngga' ya ? Apa bener pacaran itu harus kita lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang bener ada pacaran yang Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu?
Memiliki rasa cinta adalah fitrah
Ketika hati udah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya...... dahsyat man...... yang diinget cuma si dia, pengen selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja demi cinta, rela ngelakuin apa aja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampe' akhirnya....... pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang gawat lagi, karena pengen bukti'in cinta, bisa buat perut buncit (hamil). Karena cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta ditolak .... dukun pun ikut bertindak.
Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalo ngga' terpenuhi manusia bakalan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (haajatul 'udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas, buang hajat de el el. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan aja, tapi kalo' kagak terpenuhi manusia ngga' bakalan mati, cuman bakal gelisah (ngga' tenang) sampe' terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah). Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu :
Gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui, de el el.
Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.
Gharizatun nau' (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.
Pacaran dalam perspektif islam
In fact, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q. S. Al Isra' : 32)
Seringkali sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do'i. Pokoknya aktivitas pacaran itu dekat banget dengan zina. So....kesimpulannyaPACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetep aja pacaran itu haram.
Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka mojok atau berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi: "Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi: "Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu."(HR. Thabrany).
Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA' (ketentuan) Allah, dimana manusia ngga' punya andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."
Wallahu A'lam bish-Showab.

Daftar Bacaan
http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/00000028.html


Artikel Terkait:


0 komentar:

Posting Komentar

Tambahkan Komentar Anda

Subscribe Via Email

catatan "Kang Hasan"

↑ Grab this Headline Animator

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

About Me

Foto Saya
Hasanudin
Ketidaksempurnaan adalah hakiki insan Tuhan. Menjadikan lebih sempurna adalah kewajiban Insan terhadap Tuhan, dengan iman dan takwa kepada-Nya. Sebagai seorang insan kita wajib menghargai ketidaksempurnaan sesama.
Lihat profil lengkapku

Followers

Sponsored by

Ekstra Link

Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net Add to Google Reader or Homepage Text Back Links Exchanges Blog Tutorial Wordpress Blogger Blogspot Cara Membuat Blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net
Back To Top