Sembilan belas delapan sembilan adalah awal cerita ini ku kisahkan. Di sebuah desa terpencil Garut Selatan, pelataran tinggi jalan berliku, sebuah kampung tanah kelahiranku, Kampung Palalangon “Keruhun” menyebutnya. Entah apa dasarnya mereka memberi nama kampung ini. Tebing gunung menjulang tinggi, jalan setapak berbatu, jalan berhias semak-semak, dan sawah-sawah hijau bertangga-tangga, gaungan kerbau-kerbau penghias siang, dan suara burung pipit bertengger di pohon kayu tua. Latar ini adalah keheningan saat diri menginjaknya.
Sepasang suami istri hidup terpencil, kolam ikan dan sawah-sawah menjadi taman penghias rumah. Abdul Hamid seorang bapak muda adalah suami dari lima anak hasil pernikahan sucinnya dengan Omay sang ibu rumah tangga. Berlatarbelakang petani, mereka hidup untuk mencari sesuap nasi. Setiap musim mereka selalu disibukkan di sawah miliknya. Selain petani sawah, mereka juga adalah seorang pengambil air enau. Sapaatullah, adalah putra sulung mereka. Pandai, rajin, berakal tinggi dan giat membantu kedua orang tua. Setiap hari dia mencari kayu bakar di hutan belantara. Sementara itu, Dede Siti Adawiyah, seorang putri yang cantik berambut panjang terurai, berbadan tinggi, namun sifatnya yang nakal dan keras kepala selalu menunggu kedatangan kakanya pulang. Putri ketiganya bernama Dede Siti Masitoh. Dia berbadan agak pendek dengan rambut yang ikal, berkulit putih, sifatnya pemalas, dan sangat pandai menangis. Sementara itu, Patrudin yang bertubuh besar, kekar, tinggi, rajin, namun keras kepala.
Di pagi yang dingin, gerimis, angin berlalu lalang ke sana ke mari, di pagi itu keheningan mengundang tangisan siang. Hari yang tengah menjadi saksi, burung pipit kecil, padi-padi hijau tumbuh, gelayut embun di daun-daun rindang, kokok pejantan pagi silih berganti ikut menendang kesunyian. Sekitar pukul 05.27, ibu dari keempat anaknya pergi ke jamban. Itu kebiasaannya untuk membersihkan beras yang akan dibuat nasi. Dengan senangnya seperti tak mengenal lelah, mengerjakan tugas sebagai seorang istri. Kira-kira 100 m jamban dari rumah tinggalnya, ketika itu waktu berjalan sampai di pukul 05.45 yang mulai terlihat sinar surya memperkenalkan dirinya. Tiba-tiba terengar teriakan dari sang ibu, “Tolong… tolong….!”, sang ibu memanggil-manggil meminta bantuan. Perutnya yang besar dipeganginya dan berjalan agak cepat pulang ke rumah. Wajahnya yang riang menjadi merah padam kesakitan. Semuanya cepat-cepat keluar dan memapah ibunya pulang ke rumah. Teriakan semakin keras, “Sakit…sakit…”, sambil memegang perutnya. Sang Bapak tak tinggal diam melihat istrinya yang meminta bantuan itu. Dia langsung mendekati dan berkata, “Mah, kenapa? Sakitkah perutnya? Apakah bapak harus panggilkan dukun beranak?”. Sang ibu pun menyahut, “Ya…! Cepat pak, cepat pak…!”. Tak menunggu lagi sang bapak mencari “peraji” yang biasa membantu ketika ada ibu hamil yang akan melahirkan. Tak lama kemudian, tibalah sang bapak dengan membawa peraji itu. Kenapa? “Tanyanya peraji”. Ya sudahlah sekarang siapkan tikar dan air hangat, “Kamu, menunjuk kakakak tertua, kamu bantu adik-adikmu menyiapkannya”. “Ya nek, saya akan membantu adik-adik saya”.  Bapakpun siap membantu sang istri di sampingnya. Dengan wajah kesakitan ibu pun dipersilakkan oleh nenek peraji untuk mengeluarkan bayinya. Tenaga yang kuat dipersiapkan ibu untuk mengeluarkan bayi kecil ini. berakhirlah perjuangan yang melelahkan itu, sang bayi keluar dengan selamat, sang ayah memangku dengan sangat senang.
Ibu      : “Pak, bagaimana anak kita?” Tanya sang istri.
Bapak : “Alhamdulillah mah, anak kita sudah lahir”. Bapak sangat senang sekali akhirnya kita punya anak lagi. Ini adalah anugrah terbesar dari sang Maha Kuasa, kita wajib mendidik sebaik-baiknya. Bu, bagaimana keadaan ibu?”
Ibu      : “Ia Pak, ibu baik-baik saja. Alhamdulillah kita dikaruniai putra baru”.
Peraji : “Ya sudah sekarang biarkan saya mengurus bayinya. O ya sebelum itu, bapak silakkan berikan adzan untuk anakmu”.
Bapak : “Ia, Mak”
              Allahuakar Allahuakbar
              Ashaduallailaahaillallah
              Ashaduannamuhammadarrosuulullah
              Hayya allassoalah
              Hayya allalfallah
              Allahuakbar Allahuakbar Laailaahaillallah.
Peraji : “Ya sudah, bayimu sudah saya bersihkan dan nanti malam silakan kalian beri nama yang bagus untuknya, jangan lupa minta kepada Allah agar nama itu menjadi simbol dirinya”.
Bapak : “Terima kasih ya Mak sudah bersedia membantu istri saya melahirkan”.
Peraji : “ Sama-sama, itu adalah tugas saya sebagai Mak Peraji di kampung ini, jadi jangan sungkan-sungkan jika ada hal yang membuat kalian gak mengerti bagaimana cara mengurus bayi, yanyakan saja.” Saya pergi dulu ya….
Akhirnya putra bungsu dari lima bersaudara ini telah dilahirkan, kegembiraan sang ibu dan sang bapak terlihat sayup penuh keharuaan. Kakak-kakanya dengan senang hati menggantikan dan membantu pekerjaan ibu di dapur. Dede Siti Adawiyah, putra kedua, menggantikan pekerjaan ibu mengurus rumah, dia dibantu Dede Siti Masitoh sebagai putra perempuan.
Kakak sulung dan putra lainnya membantu bapak mencari kayu bakar dan membajak sawah. Begitulah semuanya terlihat senang dan bahagia dengan kehadiran adiknya yang bungsu. Keluarga ini semakin riang dengan kehadiran putra bungsu yang mungil.

***


Artikel Terkait:


0 komentar:

Posting Komentar

Tambahkan Komentar Anda

Subscribe Via Email

catatan "Kang Hasan"

↑ Grab this Headline Animator

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

About Me

Foto Saya
Hasanudin
Ketidaksempurnaan adalah hakiki insan Tuhan. Menjadikan lebih sempurna adalah kewajiban Insan terhadap Tuhan, dengan iman dan takwa kepada-Nya. Sebagai seorang insan kita wajib menghargai ketidaksempurnaan sesama.
Lihat profil lengkapku

Followers

Sponsored by

Ekstra Link

Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net Add to Google Reader or Homepage Text Back Links Exchanges Blog Tutorial Wordpress Blogger Blogspot Cara Membuat Blog Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net
Back To Top